TAK perlu menunggu hujan turun berhari-hari untuk
mengundang banjir atau tanah longsor di Aceh. Kali ini banjir kembali
melanda beberapa daerah di Aceh. Dan beberapa lokasi di Aceh Tengah
terjadi longsor setelah hujan lebat pada Jumat malam lalu. Padahal,
kepanikan akibat banjir dan longsor di pengujung 2014 lalu belum
seluruhnya hilang dari ingatan masyarakat.
Persoalan banjir dan longsor bukan sekadar menunggu air surut, atau
membersihkan tumpukan tanah dan pohon tumbang di badan jalan. Atau
sekadar mengirimkan tim Taruna Siaga Bencana untuk menolong masyarakat.
Atau memberikan bantuan masa panik alakadarnya.
Lebih dari itu, ada rantai aktivitas yang tiba-tiba mandeg karenanya.
Dan kemandeg-an ini, tentu saja mendatangkan kerugian yang tidak
sedikit. Anak-anak tidak bisa belajar karena sekolahnya terendam banjir.
Petani tidak bisa ke sawah dan berladang. Transportasi terhambat.
Pedagang kehilangan pelanggan. Para pekerja menjadi tidak bersemangat
karena diliputi rasa waswas.
Bukan tidak mungkin aktivitas di
pemerintahan juga ikut lesu karenanya. Pertanyaannya, mengapa kondisi
ini terjadi berulang-ulang? Jika diperhatikan, beberapa wilayah di Aceh merupakan langganan
terjadinya bencana alam. Salah satunya adalah Kabupaten Aceh Tengah yang
dipengaruhi oleh faktor geografis. Tetapi, bukan berarti tak bisa
‘diakali’ kan? Di sinilah diperlukan kecerdasan dan kecakapan pemimpin
dalam melihat dan memetakan masalah di wilayah kekuasaannya. Tentunya,
beda daerah beda sumber masalahnya, beda pula cara menanganinya.
Pemerintah jangan selalu kuet padee lam reudok.
Soal ini, menarik mencermati permintaan Bupati Aceh Tengah terkait
penanganan bencana di daerahnya. Usai meninjau longsor di sejumlah titik
di Aceh Tengah, Nasaruddin meminta UPTD Bina Marga Provinsi Aceh yang
berada di wilayahnya bisa berperan aktif saat terjadinya musibah.
Menurut Nasaruddin, UPTD yang berkantor di Blang Kolak II tersebut
seperti tidak berfungsi. Mereka tidak bisa membantu BPBD Aceh Tengah
secara maksimal dalam beberapa kali terjadinya longsor dan banjir
bandang. UPTD Bina Marga Provinsi Aceh diminta tidak senyap, minimal
membantu alat berat yang memadai. BPBD Aceh Tengah mengaku kewalahan
jika terjadi bencana, apalagi alat berat yang dimiliki sangat tidak
memadai. Hal ini menandakan buruknya koordinasi antara pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten.
Belum lagi buruknya sistem pengelolaan tata ruang wilayah di seluruh
provinsi Aceh. Dalam hal ini pemerintah sepertinya masih mau tawar
menawar. Padahal dampak dari sikap kompromistis tersebut sudah jelas
adanya. Protes masyarakat dan aktivis lembaga swadaya masyarakat hanya
dianggap angin lalu.
Pemerintah jangan bertindak seperti pemadam kebakaran dalam menangani
bencana alam. Melihat bencana yang sama terus terjadi berulang-ulang
sudah saatnya langkah komprehensif dilakukan. Salah satunya pemerintah
harus tegas untuk menghentikan perambahan hutan. Jangankan yang ilegal,
yang legal saja sudah harus dihentikan. Sebab hutan kita sudah
terinfeksi penyakit stadium akut. Semua sibuk ketika bencana datang.
Tapi peremajaan hutan belum dilakukan secara massif.
Percuma pemerintah meminta rakyat sabar menghadapi bencana, sementara
mereka tidak melakukan tindakan preventif untuk mencegahnya. Cukup
sudah mengatakan bahwa musibah datang dari Tuhan untuk menguji keimanan
manusia, sementara penyebabnya sudah jelas. Karena lembeknya sikap
pemerintah pada para perambah hutan. Percuma pemerintah mengatakan akan
melakukan ini dan itu jika baru hujan beberapa jam saja banjir sudah
menerjang di mana-mana.(portalsatu)
0 komentar:
Posting Komentar